Terima kasih

Aku suka cara orang Indonesia mengungkapkan rasa syukur kepada orang lain.

Terima kasih–please accept my love.

Bahwasanya bagi bangsa Melayu, balasan paling tepat bagi kebaikan orang lain adalah cinta. Meski orang lain itu asing, hanya sekali berjumpa dan sesudahnya tak ada berita.

Dan jawabannya pun menarik: “sama-sama”.

Kalau engkau mencintaiku atas kebaikanku, maka aku pun mencintaimu.

Orang Inggris mengatakan “thank you“–saya bersyukur kepadamu. Jawabannya terasa indah: “You’re welcome”–Anda diterima.

Bahwasanya apabila engkau bersyukur atas kebaikanku, maka engkau kuterima menjadi bagian dariku, dari kelompokku, dari mereka-mereka yang akan menerima kebaikan-kebaikanku di masa mendatang.

Pertolongan sering diminta oleh mereka yang lemah dan sendiri, sehingga ucapan “Anda diterima” menjadi sebuah uluran tangan, pelukan hangat, keamanan dan keselamatan, undangan kebersamaan.

Rasa berterima kasih, buatku, adalah salah satu interaksi antarmanusia yang paling indah, terlebih karena tiap suku bangsa punya pemahamannya sendiri.

Layu

Hari ini bungaku mati.

Dua puluh lima ribu adalah harga yang murah untuk letup kegembiraan di hatiku melihat bunga-bunga kecil merah jambu itu merekah dan bersemu. Pertama kali aku berjumpa dengannya di Pasar Bunga Splindid, selagi iseng mencari hiasan di dalam rumah. Pedagang memberi harga tiga puluh, aku meminta dua puluh, dan kami bersepakat pada angka dua puluh lima.

Jendela dapur mendadak berkesan romantis dengan kedatangannya. Pagi hari setelah kusiram (“Dua kali sehari,” saran Pak Pedagang), biasanya ia kupindah ke jendela depan agar kenyang sinar matahari.

IMG_0468-0.JPG

Setahun lalu aku membeli Sansevieria yang akhirnya mati muda, membusuk terlalu banyak disiram. Dari pengalaman itu aku berhati-hati sekali menyiram bungaku, bunga yang aku tak tahu apa nama dan jenisnya itu. Hanya kupercik air keran sesekali dari tanganku. Tak pernah sampai banyak.

Sejak dua hari yang lalu kudapati satu per satu tangkai bungaku patah dan layu. Hingga akhirnya sore tadi, tangkai bunga terakhir yang tadi pagi tampak sehat, tiba-tiba layu. Habis.

Memelihara tanaman tadinya kuanggap bisa jadi hobi yang menyenangkan. Hewan peliharaan merepotkan dan minta banyak perhatian, sedang tanaman bisa menyenangkan hati cukup dengan dia diam dan tampak cantik. Aku sedikit kaget karena ternyata bunga yang mati bisa membuat sedih seperti ini.

Setelah panik membaca sana-sini, ada tanda-tanda bungaku kekurangan air. Beberapa saran menjaga tanaman tetap hidup sudah kulakukan, tinggal tunggu waktu apakah bunga ini mati sepenuhnya atau masih bisa berulang tumbuh kembali.

Ternyata hobi tanaman tidak semudah kukira, tetap perlu belajar dan mencari tahu. Sekarang aku ragu ingin melanjutkan bertanam atau tidak, tetapi aku rasa ini bukan kali terakhir aku menulis tentangnya.

Opini

Akhir-akhir ini aku berhenti beropini.

Satu alasan Twitter ramai dipakai di Indonesia adalah karena ia menyediakan tempat seluas-luasnya untuk beropini. Beropini berjamaah sembari mengiyakan satu sama lain jadi aktivitas sehari-hari di situ. Setiap ada kasus baru, manusia-manusia di Twitter cekatan mengisi posisi opini masing-masing: ada yang bagian sarkas, ada yang menyindir halus, ada yang mencerca, ada yang membuat lelucon, ada yang menertawakan lelucon. Sebagian besar yang lain bertugas retweet, atau menekan tombol favorit, atau yang ingin tampak kreatif sedikit boleh menambahkan “!!!” atau “This!” atau “+1”.

Aku pernah juga begitu: pemrotes yang sinis, sarkas, juga penulis lelucon yang tak lucu, tidak peduli pada hal-hal yang menjadi urusanku atau tidak. Segala yang keluar di linimasa, pikirku waktu itu, adalah urusanku.

Akhir-akhir ini aku diam. Aku masih sering merasa kecewa dengan layanan publik, tidak setuju dengan perilaku masyarakat, atau geli mendengar pendapat menyimpang seseorang. Tetapi lalu dalam hati aku mengiyakan dan membenarkan sendiri opini terpendamku. Setelah itu hatiku padam.

Aku tidak tahu apakah ini tanda aku sudah dewasa, ataukah seseorang pada dasarnya akan patah hati dan diam setelah kekecewaan dan segala protesnya tidak menemui hasil apa-apa sekian tahun lamanya. Atau barangkali aku hanya cemburu sebab Twitter lahanku beropini telah diserbu pemilik opini-opini baru yang lebih marah, lebih brilian, lebih lantang dariku.

Tetapi diam dan sengaja tidak tahu kasus-kasus terbaru ternyata alangkah tenteramnya.