Unmournable Bodies

From Teju Cole:

The scale, intensity, and manner of the solidarity that we are seeing for the victims of the Paris killings, encouraging as it may be, indicates how easy it is in Western societies to focus on radical Islamism as the real, or the only, enemy. This focus is part of the consensus about mournable bodies, and it often keeps us from paying proper attention to other, ongoing, instances of horrific carnage around the world: abductions and killings in Mexico, hundreds of children (and more than a dozen journalists) killed in Gaza by Israel last year, internecine massacres in the Central African Republic, and so on. And even when we rightly condemn criminals who claim to act in the name of Islam, little of our grief is extended to the numerous Muslim victims of their attacks, whether in Yemen or Nigeria—in both of which there were deadly massacres this week—or in Saudi Arabia, where, among many violations of human rights, the punishment for journalists who “insult Islam” is flogging. We may not be able to attend to each outrage in every corner of the world, but we should at least pause to consider how it is that mainstream opinion so quickly decides that certain violent deaths are more meaningful, and more worthy of commemoration, than others.

Between Being Brave and Being Funny

I have never once seen a cartoon of Mohammed that has made me laugh. Not one.

Thus starts Hugo Rifkin’s excellent article, “There is a difference between being brave and being funny“.

It is easy to mock the Saudis, because they are savages who live in palaces. Iran exists in totalitarianism, and the Islamic State are murderous fascists. All — obviously, obviously — are ripe for it. To mock Islam itself, though, is to accept that all bar a small, statistical anomaly among those whom your barbs are stabbing will not be comfortable at all.

So, it seems to me that the solution to the fear, equivocation and confusion that any liberal satirist might feel right now is not, necessarily, to keep on grinding. Rather, it is ponder why it should be that offending Muslims, actually, isn’t funny. It is to look at their marginalisation in the West; their near invisibility in politics, media, comedy and all the rest of it, and recognise that this is a problem that makes mockery, which is vital for everyone, far more complex.

No Different Than A Blank Piece of Paper

Why blogging is not dead, according to Kit Stansley:

So, I’m just going to say a thing about this right now… “blogs dying” is not real. It’s not a thing. It’s like saying “cantaloupes running” or “light-bulbs laughing”. Those are definitely two real words that someone put together in a phrase, but they fail as a concept, and here’s why: Cantaloupes do not have legs. Also, a “blog” is no different than a blank piece of paper. It’s a piece of paper that a lot of people can see, if they’d like to, or, alternatively, a lot of people can ignore. Maybe you put something really personal on that paper and fold it into a pretty little origami crane and no one gets to see it but you. Maybe you write jokes on that paper and pass it to your best friend in the back of study hall. Maybe you pick up a pen and write a novel on that paper, or draw a picture of something you’re really proud of. Maybe you whisper a secret to it and then set it on fire and make a wish on the ashes.

Discard Everything That Does Not Spark Joy

Ms. Kondo’s decluttering theories are unique, and can be reduced to two basic tenets: Discard everything that does not “spark joy,” after thanking the objects that are getting the heave-ho for their service; and do not buy organizing equipment — your home already has all the storage you need.

Obsessive, gently self-mocking and tender toward the life cycle of, say, a pair of socks, Ms. Kondo delivers her tidy manifesto like a kind of Zen nanny, both hortatory and animistic.

“Don’t just open up your closet and decide after a cursory glance that everything in it gives you a thrill,” she writes. “You must take each outfit in your hand.”

Advice from decluttering expert Marie Kondo.

Ahmed

Ndilalah itu,” kata bapak pemilik bengkel ketika ngobrol-setengah-menasihatiku beberapa tahun lalu, “aslinya singkatan dari sudining Allah–atas izin Tuhan.” Jadi pada kata ndilalah yang awalnya artinya ‘kebetulan’, di baliknya sudah ada alasan tertentu. Kata Emhandilalah itu adalah ‘indallah: bahasa Arab yang artinya atas kehendak Allah.

Maka ndilalah! Adalah seorang polisi Muslim yang gugur membela hak satu majalah untuk mengolok-olok Islam, agamanya sendiri, ketika para pembantai datang dengan membawa kedok Islam, agamanya sendiri.

Maka pula ndilalah! Polisi Muslim itu menyandang nama Ahmed, nama dengan akar kata yang sama dengan Muhammad, nabinya sendiri, sedang para pembunuh menyerbu dengan dalih membalaskan dendam Muhammad, nabinya sendiri.

Tentu kita tidak perlu lagi bahas Islam yang mana yang sebenarnya Islam, pengikut Muhammad yang mana yang sebenarnya mengikut Muhammad.

Ndilalah, lewat Ahmed, sebagaimana sebelumnya lewat Muhammad, Tuhan menjelaskan tentang Islam pada dunia dengan sangat, teramat jelas.

The Good Fight

The good fight is the one that’s fought in the name of our dreams. When we’re young and our dreams first explode inside us with all of their force, we are very courageous, but we haven’t yet learned how to fight. With great effort, we learn how to fight, but by then we no longer have the courage to go into combat. So we turn against ourselves and do battle within. We become our own worst enemy. We say that our dreams were childish, or too difficult to realize, or the result of our not having known enough about life. We kill our dreams because we are afraid to fight the good fight.

From “The Pilgrimage”, Paulo Coelho.

Macau casinos are reporting losses due to anti-corruption drive in China:

Chinese President Xi Jinping’s bid to catch “tigers and flies” in an anti-corruption drive and weaker economic growth means Macau may face shrinking revenue until at least mid-2015, when new resorts open. The crackdown has deterred high rollers who account for two-thirds of Macau’s casino receipts, and wiped out about $73 billion in market value of companies including Wynn Macau Ltd. (1128) and SJM Holdings Ltd. last year.

“The VIP heyday is over,” said Philip Tulk, an analyst at Standard Chartered Plc in Hong Kong. “The anti-corruption crackdown doesn’t look to be a short-term phenomenon,” with funds flows between the mainland and Macau being much more closely scrutinized, he said.

I wonder what will the effect be once similar corruption crackdown is running full speed in Indonesia.

Paying Dads to Change Nappies

Why Swedish men take so much paternity leave“:

One of the most powerful arguments in favour of splitting parental leave more equally is that it has positive ripple effects for women. Since Swedish men started to take more responsibility for child rearing, women have seen both their incomes and levels of self-reported happiness increase. Paying dads to change nappies and hang out at playgrounds, in other words, seems to benefit the whole family.

1995

Aku masih ingat dengan 1995.

Tahun yang terbayang akan terasa spesial, sebab Indonesia berulang tahun kelima puluh. Aku masih ingat logo dirgahayu Indonesia waktu itu, angka lima puluh dengan bendera yang berlipat bertumpuk-tumpuk. Waktu itu kurasa bendera itu tampak tidak proporsional. Saat kulihat lagi di Google beberapa menit yang lalu, baru kusadari ternyata logo itu bukan satu bendera yang bertumpuk, melainkan lima bendera. Yang melambangkan entahlah.

Entah apa pula yang berubah pada bangsaku di tahun itu. Selain perayaan yang terasa megah, aku tak merasa ada apa-apa.

1995 juga adalah waktu di mana aku sempat rangking dua di kelas, sebab aku duduk bersama seorang sahabat yang cerdas dan langganan rangking satu. Ketika catur wulan berikutnya tempat duduk kami dipisah, rangkingku anjlok.

Pada tahun 1995 aku berada di kelas yang paling menyenangkan untuk sekolah dasar: kelas 5. Sebab aku sudah cukup senior dan kerasan di sekolah, sudah kenal banyak teman, namun belum dipusingkan oleh ujian masuk SMP sebagaimana anak-anak kelas 6.

Kelas 5 SD adalah masa-masa penuh kreativitas. Aku ingat bersama teman-teman merancang video game berdasarkan sinetron Angin Tak Dapat Membaca (dibintangi Adam Jordan). Ada satu stage di mana tokohnya berkuda sementara tokoh antagonisnya mengejar dengan helikopter–persis meniru adegan di sinetron. Juga menggambar. Juga ikut lomba bercerita di masjid besar Kota Batu (yang pada masa itu masih belum berstatus kota).

Entah apa kataku di tahun 1995 jika menjumpai diriku saat ini. Mungkin dia berpaling, tidak nyaman berada dekat seorang tua yang terpaut jauh usianya. Tetapi ingin sekali bisa kukatakan padanya, “aku masih seorang anak kecil–aku, maksudku kita, kau dan aku, kini punya seorang anak kecil–tapi aku masih juga anak kecil. Sama sepertimu.”

1995. Satu sembilan sembilan lima.

Dua puluh tahun yang lalu.

Dua puluh.

Sungguh masih terasa seperti kemarin.

Perumpamaan

Akal manusia seringkali kesulitan ketika harus mencerna sesuatu dalam skala yang sangat besar, sangat banyak, ataupun sebaliknya yang sangat kecil. Juga ketika harus berhadapan pada hal-hal yang tidak kasat mata. Tetapi kerja akal manusia menjadi sangat terbantu ketika diberikan simbol-simbol dan perumpamaan-perumpaan.

Contoh: ada banyak bintang di alam semesta ini. Sangat, sangat banyak. Ada yang memperkirakan jumlahnya sampai 200 sextillion. Angka dua dengan dua puluh tiga nol di belakangnya. Tetapi akal kita tidak bisa membayangkan jumlah sebanyak ini. Akal kita tidak beroperasi pada skala sedemikian besar. Kita tidak bisa membayangkan beda antara dua dengan dua puluh tiga nol dan dua dengan dua puluh dua nol di belakangnya.

Tetapi ketika dikatakan bahwa “jumlah bintang di alam semesta lebih banyak daripada jumlah butir pasir di seluruh pantai di dunia”, akal kita sedikit terbuka. Kita tetap tidak bisa membayangkan jumlahnya secara pasti, tetapi muncul gambaran di dalam kepala kita. Perumpamaan satu hal dengan hal lainnya membuat pemahaman kita memuai, meluas. Kita jadi sedikit lebih mengerti.

Perumpamaan dan simbol adalah senjata kita memahami dunia. Dunia yang jauh lebih besar dan lebih kecil dari apa yang bisa kita indera.

Maka ketika seseorang membuat resolusi tahun baru, semoga pada dasarnya dia tengah memanfaatkan tingginya perhatian otak kita pada simbol-simbol untuk memberi makna lebih pada keinginannya di tahun mendatang.

Tahun baru adalah simbol “permulaan”. “Awal”. Secara logika ia tidak berarti apa-apa, hanya pertambahan satu hari yang baru. Tetapi otak manusia seringkali tidak rasional. Otak manusia memberi nilai lebih pada simbol dan perumpamaan. Maka apabila simbol “permulaan” ini dapat memberi makna dan dorongan lebih pada seseorang untuk dapat memperbaiki dirinya, tidak ada salahnya digunakan.

Kalau sekiranya Kami turunkan Al-Quran ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan ketakutannya kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir. (QS 59:21)