Akhir-akhir ini aku berhenti beropini.
Satu alasan Twitter ramai dipakai di Indonesia adalah karena ia menyediakan tempat seluas-luasnya untuk beropini. Beropini berjamaah sembari mengiyakan satu sama lain jadi aktivitas sehari-hari di situ. Setiap ada kasus baru, manusia-manusia di Twitter cekatan mengisi posisi opini masing-masing: ada yang bagian sarkas, ada yang menyindir halus, ada yang mencerca, ada yang membuat lelucon, ada yang menertawakan lelucon. Sebagian besar yang lain bertugas retweet, atau menekan tombol favorit, atau yang ingin tampak kreatif sedikit boleh menambahkan “!!!” atau “This!” atau “+1”.
Aku pernah juga begitu: pemrotes yang sinis, sarkas, juga penulis lelucon yang tak lucu, tidak peduli pada hal-hal yang menjadi urusanku atau tidak. Segala yang keluar di linimasa, pikirku waktu itu, adalah urusanku.
Akhir-akhir ini aku diam. Aku masih sering merasa kecewa dengan layanan publik, tidak setuju dengan perilaku masyarakat, atau geli mendengar pendapat menyimpang seseorang. Tetapi lalu dalam hati aku mengiyakan dan membenarkan sendiri opini terpendamku. Setelah itu hatiku padam.
Aku tidak tahu apakah ini tanda aku sudah dewasa, ataukah seseorang pada dasarnya akan patah hati dan diam setelah kekecewaan dan segala protesnya tidak menemui hasil apa-apa sekian tahun lamanya. Atau barangkali aku hanya cemburu sebab Twitter lahanku beropini telah diserbu pemilik opini-opini baru yang lebih marah, lebih brilian, lebih lantang dariku.
Tetapi diam dan sengaja tidak tahu kasus-kasus terbaru ternyata alangkah tenteramnya.