Tersusun dari Manusia

Satu hal yang aku temukan akhir-akhir ini adalah bahwa sebuah instansi yang kelihatannya “sempurna” dari luar, ternyata jika dilihat dari dalam akan kelihatan kalau “kesempurnaan” itu ternyata hanya tambal-sulam, campur-aduk, dan seringkali mereka sendiri tak bisa menjelaskan kenapa semua bisa berjalan sebaik yang kelihatan.

Contoh kasarnya: perusahaan tempatku bekerja sekarang sering berinteraksi dengan perusahaan teknologi besar seperti Facebook, Google, Apple, dan sejenisnya. Jika dilihat dari luar, perusahaan-perusahaan raksasa dengan pekerja-pekerja yang luar biasa cerdas ini terlihat sangat mengesankan. Produk-produknya tampak mentereng, fiturnya luar biasa, namanya terkenal di mana-mana. Tetapi di balik semua itu ada juga masalah-masalah besar kecil yang sepertinya tampak terlalu remeh untuk bisa terjadi.

Dan aku tidak bilang itu hal yang memalukan. Justru kurasa itu lebih mengesankan dan menghangatkan hati. Sebab, sesempurna apapun mereka kelihatannya, pada akhirnya mereka tersusun dari manusia-manusia. Dan ternyata ketika urusan sudah jatuh ke tangan manusia, tidak ada yang lepas dari kesalahan terlepas dari nama besar tempatnya bekerja atau atribut-atribut lainnya.

Dan yang melegakan buatku adalah bahwa kita yang masih jatuh bangun belajar dan mengembangkan diri sebenarnya tidak terpaut terlalu jauh dengan mereka yang karirnya sudah tinggi. Sama saja. Tidak ada programmer di dunia ini yang menulis program sekali jadi dan tidak ada masalah sama sekali. Sampai pada level tertinggi pun mereka juga sangat sering bingung ketika sebuah program tidak berjalan, dan juga ketika program yang sama mau berjalan. Orang jenius tentu ada, tetapi siapapun yang mau berusaha dan tidak menyerah, pada akhirnya akan bisa mencapai tingkat keahlian yang sama.

Karena pada akhirnya ternyata kita semua sama saja, sama-sama manusia. Tidak bisa sempurna.

Postingan lama yang terkait: Just A Bunch of People Like Us

Tentang Malang

Malang adalah kotaku, tapi hanya pada hari-hari tertentu. Apabila datang akhir minggu, atau hari-hari di mana jam kerja dan sekolah tak lagi berlaku, Malang penuh sesak menjadi milik siapa saja yang datang memenuhi jalan-jalan dan pertokoan.

Barangkali adalah baik melihat bagaimana kotaku tumbuh kian semarak, menarik perhatian banyak pihak. That it’s a good problem to have. Tetapi juga aku berpikir bahwa pada akhirnya Malang adalah kota kecil yang tidak bisa tumbuh ke mana-mana lagi. Penataan tidak segesit pendatangan.

Setidaknya pada hari-hari tertentu, Malang masih tenang, dan aku bersyukur untuk itu. Hanya saja ketika kulihat anakku dan kubayangkan masa depannya, tidak kutemukan jawaban yang tepat di mana lagi dia bisa menemui ruang lapang dan sunyi di kota ini.

 

 

Makadam

Aku sering tergelitik mendengar kata ‘jalan makadam’, sebab tengah bagaimana kata ‘makadam’ itu tidak terdengar seperti bahasa Indonesia–feel dan bunyinya tidak serupa kata-kata lainnya.

Hari ini aku membaca satu buku yang menjelaskan bahwa ternyata memang ada istilah macadamization“, satu cara membuat jalan di mana lapisan-lapisan batu kecil-kecil disebar sedemikian rupa di atas permukaan jalan, ditambah sedikit campuran pengikat. Saat metode ini ditemukan, ia dianggap sebagai peningkatan dari cara pembuatan jalan sebelumnya yang harus menggunakan batu-batu besar.

400px-fall_country_road_28macadam29
Contoh jalan makadam

Metode ini sendiri dinamakan begitu karena ditemukan oleh John Loudon McAdam pada tahun 1820. Hampir dua ratus tahun yang lalu.

Ahmed

Ndilalah itu,” kata bapak pemilik bengkel ketika ngobrol-setengah-menasihatiku beberapa tahun lalu, “aslinya singkatan dari sudining Allah–atas izin Tuhan.” Jadi pada kata ndilalah yang awalnya artinya ‘kebetulan’, di baliknya sudah ada alasan tertentu. Kata Emhandilalah itu adalah ‘indallah: bahasa Arab yang artinya atas kehendak Allah.

Maka ndilalah! Adalah seorang polisi Muslim yang gugur membela hak satu majalah untuk mengolok-olok Islam, agamanya sendiri, ketika para pembantai datang dengan membawa kedok Islam, agamanya sendiri.

Maka pula ndilalah! Polisi Muslim itu menyandang nama Ahmed, nama dengan akar kata yang sama dengan Muhammad, nabinya sendiri, sedang para pembunuh menyerbu dengan dalih membalaskan dendam Muhammad, nabinya sendiri.

Tentu kita tidak perlu lagi bahas Islam yang mana yang sebenarnya Islam, pengikut Muhammad yang mana yang sebenarnya mengikut Muhammad.

Ndilalah, lewat Ahmed, sebagaimana sebelumnya lewat Muhammad, Tuhan menjelaskan tentang Islam pada dunia dengan sangat, teramat jelas.

1995

Aku masih ingat dengan 1995.

Tahun yang terbayang akan terasa spesial, sebab Indonesia berulang tahun kelima puluh. Aku masih ingat logo dirgahayu Indonesia waktu itu, angka lima puluh dengan bendera yang berlipat bertumpuk-tumpuk. Waktu itu kurasa bendera itu tampak tidak proporsional. Saat kulihat lagi di Google beberapa menit yang lalu, baru kusadari ternyata logo itu bukan satu bendera yang bertumpuk, melainkan lima bendera. Yang melambangkan entahlah.

Entah apa pula yang berubah pada bangsaku di tahun itu. Selain perayaan yang terasa megah, aku tak merasa ada apa-apa.

1995 juga adalah waktu di mana aku sempat rangking dua di kelas, sebab aku duduk bersama seorang sahabat yang cerdas dan langganan rangking satu. Ketika catur wulan berikutnya tempat duduk kami dipisah, rangkingku anjlok.

Pada tahun 1995 aku berada di kelas yang paling menyenangkan untuk sekolah dasar: kelas 5. Sebab aku sudah cukup senior dan kerasan di sekolah, sudah kenal banyak teman, namun belum dipusingkan oleh ujian masuk SMP sebagaimana anak-anak kelas 6.

Kelas 5 SD adalah masa-masa penuh kreativitas. Aku ingat bersama teman-teman merancang video game berdasarkan sinetron Angin Tak Dapat Membaca (dibintangi Adam Jordan). Ada satu stage di mana tokohnya berkuda sementara tokoh antagonisnya mengejar dengan helikopter–persis meniru adegan di sinetron. Juga menggambar. Juga ikut lomba bercerita di masjid besar Kota Batu (yang pada masa itu masih belum berstatus kota).

Entah apa kataku di tahun 1995 jika menjumpai diriku saat ini. Mungkin dia berpaling, tidak nyaman berada dekat seorang tua yang terpaut jauh usianya. Tetapi ingin sekali bisa kukatakan padanya, “aku masih seorang anak kecil–aku, maksudku kita, kau dan aku, kini punya seorang anak kecil–tapi aku masih juga anak kecil. Sama sepertimu.”

1995. Satu sembilan sembilan lima.

Dua puluh tahun yang lalu.

Dua puluh.

Sungguh masih terasa seperti kemarin.

Perumpamaan

Akal manusia seringkali kesulitan ketika harus mencerna sesuatu dalam skala yang sangat besar, sangat banyak, ataupun sebaliknya yang sangat kecil. Juga ketika harus berhadapan pada hal-hal yang tidak kasat mata. Tetapi kerja akal manusia menjadi sangat terbantu ketika diberikan simbol-simbol dan perumpamaan-perumpaan.

Contoh: ada banyak bintang di alam semesta ini. Sangat, sangat banyak. Ada yang memperkirakan jumlahnya sampai 200 sextillion. Angka dua dengan dua puluh tiga nol di belakangnya. Tetapi akal kita tidak bisa membayangkan jumlah sebanyak ini. Akal kita tidak beroperasi pada skala sedemikian besar. Kita tidak bisa membayangkan beda antara dua dengan dua puluh tiga nol dan dua dengan dua puluh dua nol di belakangnya.

Tetapi ketika dikatakan bahwa “jumlah bintang di alam semesta lebih banyak daripada jumlah butir pasir di seluruh pantai di dunia”, akal kita sedikit terbuka. Kita tetap tidak bisa membayangkan jumlahnya secara pasti, tetapi muncul gambaran di dalam kepala kita. Perumpamaan satu hal dengan hal lainnya membuat pemahaman kita memuai, meluas. Kita jadi sedikit lebih mengerti.

Perumpamaan dan simbol adalah senjata kita memahami dunia. Dunia yang jauh lebih besar dan lebih kecil dari apa yang bisa kita indera.

Maka ketika seseorang membuat resolusi tahun baru, semoga pada dasarnya dia tengah memanfaatkan tingginya perhatian otak kita pada simbol-simbol untuk memberi makna lebih pada keinginannya di tahun mendatang.

Tahun baru adalah simbol “permulaan”. “Awal”. Secara logika ia tidak berarti apa-apa, hanya pertambahan satu hari yang baru. Tetapi otak manusia seringkali tidak rasional. Otak manusia memberi nilai lebih pada simbol dan perumpamaan. Maka apabila simbol “permulaan” ini dapat memberi makna dan dorongan lebih pada seseorang untuk dapat memperbaiki dirinya, tidak ada salahnya digunakan.

Kalau sekiranya Kami turunkan Al-Quran ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan ketakutannya kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir. (QS 59:21)

Terima kasih

Aku suka cara orang Indonesia mengungkapkan rasa syukur kepada orang lain.

Terima kasih–please accept my love.

Bahwasanya bagi bangsa Melayu, balasan paling tepat bagi kebaikan orang lain adalah cinta. Meski orang lain itu asing, hanya sekali berjumpa dan sesudahnya tak ada berita.

Dan jawabannya pun menarik: “sama-sama”.

Kalau engkau mencintaiku atas kebaikanku, maka aku pun mencintaimu.

Orang Inggris mengatakan “thank you“–saya bersyukur kepadamu. Jawabannya terasa indah: “You’re welcome”–Anda diterima.

Bahwasanya apabila engkau bersyukur atas kebaikanku, maka engkau kuterima menjadi bagian dariku, dari kelompokku, dari mereka-mereka yang akan menerima kebaikan-kebaikanku di masa mendatang.

Pertolongan sering diminta oleh mereka yang lemah dan sendiri, sehingga ucapan “Anda diterima” menjadi sebuah uluran tangan, pelukan hangat, keamanan dan keselamatan, undangan kebersamaan.

Rasa berterima kasih, buatku, adalah salah satu interaksi antarmanusia yang paling indah, terlebih karena tiap suku bangsa punya pemahamannya sendiri.

Layu

Hari ini bungaku mati.

Dua puluh lima ribu adalah harga yang murah untuk letup kegembiraan di hatiku melihat bunga-bunga kecil merah jambu itu merekah dan bersemu. Pertama kali aku berjumpa dengannya di Pasar Bunga Splindid, selagi iseng mencari hiasan di dalam rumah. Pedagang memberi harga tiga puluh, aku meminta dua puluh, dan kami bersepakat pada angka dua puluh lima.

Jendela dapur mendadak berkesan romantis dengan kedatangannya. Pagi hari setelah kusiram (“Dua kali sehari,” saran Pak Pedagang), biasanya ia kupindah ke jendela depan agar kenyang sinar matahari.

IMG_0468-0.JPG

Setahun lalu aku membeli Sansevieria yang akhirnya mati muda, membusuk terlalu banyak disiram. Dari pengalaman itu aku berhati-hati sekali menyiram bungaku, bunga yang aku tak tahu apa nama dan jenisnya itu. Hanya kupercik air keran sesekali dari tanganku. Tak pernah sampai banyak.

Sejak dua hari yang lalu kudapati satu per satu tangkai bungaku patah dan layu. Hingga akhirnya sore tadi, tangkai bunga terakhir yang tadi pagi tampak sehat, tiba-tiba layu. Habis.

Memelihara tanaman tadinya kuanggap bisa jadi hobi yang menyenangkan. Hewan peliharaan merepotkan dan minta banyak perhatian, sedang tanaman bisa menyenangkan hati cukup dengan dia diam dan tampak cantik. Aku sedikit kaget karena ternyata bunga yang mati bisa membuat sedih seperti ini.

Setelah panik membaca sana-sini, ada tanda-tanda bungaku kekurangan air. Beberapa saran menjaga tanaman tetap hidup sudah kulakukan, tinggal tunggu waktu apakah bunga ini mati sepenuhnya atau masih bisa berulang tumbuh kembali.

Ternyata hobi tanaman tidak semudah kukira, tetap perlu belajar dan mencari tahu. Sekarang aku ragu ingin melanjutkan bertanam atau tidak, tetapi aku rasa ini bukan kali terakhir aku menulis tentangnya.